mohon maaf sementara postingan ini masih berasal dari referensi blog orang.. bukan bermaksud plagiat tapi ini sekedar mem-bookmark pelajaran untuk saya belajar lebih lanjut, tapi tidak lupa saya cantumkan file asal postingan saya... heheh peace !!!!

Minggu, 23 November 2014

sendal jepit istriku

"SANDAL JEPIT ISTRIKU"

Selera makanku mendadak punah. Hanya ada
rasa kesal dan jengkel yang memenuhi kepala
ini. Duh… betapa tidak gemas, dalam keadaan
lapar memuncak seperti ini makanan yang
tersedia tak ada yang memuaskan lidah. Sayur
sop ini rasanya manis bak kolak pisang, sedang
perkedelnya asin nggak ketulungan.
“Ummi… Ummi, kapan kau dapat memasak
dengan benar…? Selalu saja, kalau tak keasinan…
kemanisan, kalau tak keaseman… ya kepedesan!”
Ya, aku tak bisa menahan emosi untuk tak
menggerutu.”Sabar bi…, Rasulullah juga sabar
terhadap masakan Aisyah dan Khodijah. Katanya
mau kayak Rasul…? ” ucap isteriku kalem. “Iya…
tapi abi kan manusia biasa. Abi belum bisa sabar
seperti Rasul. Abi tak tahan kalau makan terus
menerus seperti ini…!” Jawabku dengan nada
tinggi. Mendengar ucapanku yang bernada
emosi, kulihat isteriku menundukkan kepala
dalam-dalam. Kalau sudah begitu, aku yakin
pasti air matanya sudah merebak. *** Sepekan
sudah aku ke luar kota. Dan tentu, ketika pulang
benak ini penuh dengan jumput-jumput harapan
untuk menemukan ‘baiti jannati’ di rumahku.
Namun apa yang terjadi…? Ternyata kenyataan
tak sesuai dengan apa yang kuimpikan.
Sesampainya di rumah, kepalaku malah mumet
tujuh keliling. Bayangkan saja, rumah
kontrakanku tak ubahnya laksana kapal burak
(pecah). Pakaian bersih yang belum disetrika
menggunung di sana sini. Piring-piring kotor
berpesta pora di dapur, dan cucian… ouw…
berember-ember. Ditambah lagi aroma bau
busuknya yang menyengat, karena berhari-hari
direndam dengan detergen tapi tak juga dicuci.
Melihat keadaan seperti ini aku cuma bisa
beristigfar sambil mengurut dada. “Ummi…
ummi, bagaimana abi tak selalu kesal kalau
keadaan terus menerus begini…?” ucapku sambil
menggeleng-gelengkan kepala. “Ummi… isteri
sholihah itu tak hanya pandai ngisi pengajian,
tapi dia juga harus pandai dalam mengatur tetek
bengek urusan rumah tangga. Harus bisa masak,
nyetrika, nyuci, jahit baju, beresin rumah…?”
Belum sempat kata-kataku habis sudah
terdengar ledakan tangis isteriku yang kelihatan
begitu pilu. “Ah…wanita gampang sekali untuk
menangis…,” batinku berkata dalam hati. “Sudah
diam Mi, tak boleh cengeng. Katanya mau jadi
isteri shalihah…? Isteri shalihah itu tidak
cengeng,” bujukku hati-hati setelah melihat air
matanya menganak sungai dipipinya. “Gimana
nggak nangis! Baru juga pulang sudah ngomel-
ngomel terus.
Rumah ini berantakan karena memang ummi tak
bisa mengerjakan apa-apa. Jangankan untuk
kerja untuk jalan saja susah. Ummi kan muntah-
muntah terus, ini badan rasanya tak bertenaga
sama sekali,” ucap isteriku diselingi isak tangis.
“Abi nggak ngerasain sih bagaimana maboknya
orang yang hamil muda…” Ucap isteriku lagi,
sementara air matanya kulihat tetap merebak.
Bi…, siang nanti antar Ummi ngaji ya…?” pinta
isteriku. “Aduh, Mi… abi kan sibuk sekali hari
ini. Berangkat sendiri saja ya?” ucapku. “Ya
sudah, kalau abi sibuk, Ummi naik bis umum
saja, mudah-mudahan nggak pingsan di jalan,”
jawab isteriku. “Lho, kok bilang gitu…?” selaku.
“Iya, dalam kondisi muntah-muntah seperti ini
kepala Ummi gampang pusing kalau mencium
bau bensin. Apalagi ditambah berdesak-desakan
dalam bus dengan suasana panas menyengat.
Tapi mudah-mudahan sih nggak kenapa-kenapa,”
ucap isteriku lagi. “Ya sudah, kalau begitu naik
bajaj saja,” jawabku ringan. Pertemuan hari ini
ternyata diundur pekan depan. Kesempatan
waktu luang ini kugunakan untuk menjemput
isteriku. Entah kenapa hati ini tiba-tiba saja
menjadi rindu padanya. Motorku sudah sampai
di tempat isteriku mengaji.
Di depan pintu kulihat masih banyak sepatu
berjajar, ini pertanda acara belum selesai.
Kuperhatikan sepatu yang berjumlah delapan
pasang itu satu persatu. Ah, semuanya indah-
indah dan kelihatan harganya begitu mahal.
“Wanita, memang suka yang indah-indah,
sampai bentuk sepatu pun lucu-lucu,” aku
membathin sendiri. Mataku tiba-tiba terantuk
pandang pada sebuah sendal jepit yang diapit
sepasang sepatu indah.
Dug! Hati ini menjadi luruh. “Oh….bukankah ini
sandal jepit isteriku?” tanya hatiku. Lalu segera
kuambil sandal jepit kumal yang tertindih sepatu
indah itu. Tes! Air mataku jatuh tanpa terasa.
Perih sekali rasanya hati ini, kenapa baru
sekarang sadar bahwa aku tak pernah
memperhatikan isteriku. Sampai-sampai kemana
ia pergi harus bersandal jepit kumal. Sementara
teman-temannnya bersepatu bagus.
“Maafkan aku Maryam,” pinta hatiku. “Krek…,”
suara pintu terdengar dibuka. Aku terlonjak,
lantas menyelinap ke tembok samping. Kulihat
dua ukhti berjalan melintas sambil
menggendong bocah mungil yang berjilbab
indah dan cerah, secerah warna baju dan jilbab
umminya. Beberapa menit setelah kepergian dua
ukhti itu, kembali melintas ukhti-ukhti yang
lain. Namun, belum juga kutemukan Maryamku.
Aku menghitung sudah delapan orang keluar
dari rumah itu, tapi isteriku belum juga keluar.
Penantianku berakhir ketika sesosok tubuh
berbaya gelap dan berjilbab hitam melintas. “Ini
dia mujahidahku!” pekik hatiku.
Ia beda dengan yang lain, ia begitu bersahaja.
Kalau yang lain memakai baju berbunga cerah
indah, ia hanya memakai baju warna gelap yang
sudah lusuh pula warnanya. Diam-diam hatiku
kembali dirayapi perasaan berdosa karena
selama ini kurang memperhatikan isteri. Ya, aku
baru sadar, bahwa semenjak menikah belum
pernah membelikan sepotong baju pun
untuknya. Aku terlalu sibuk memperhatikan
kekurangan-kekurangan isteriku, padahal di
balik semua itu begitu banyak kelebihanmu,
wahai Maryamku.
Aku benar-benar menjadi malu pada Allah dan
Rasul-Nya. Selama ini aku terlalu sibuk
mengurus orang lain, sedang isteriku tak pernah
kuurusi. Padahal Rasul telah berkata: “Yang
terbaik di antara kamu adalah yang paling baik
terhadap keluarganya.” Sedang aku..? Ah, kenapa
pula aku lupa bahwa Allah menyuruh para suami
agar menggauli isterinya dengan baik. Sedang
aku…? terlalu sering ngomel dan menuntut isteri
dengan sesuatu yang ia tak dapat melakukannya.
Aku benar-benar merasa menjadi suami
terdzalim!!! “Maryam…!” panggilku, ketika tubuh
berbaya gelap itu melintas. Tubuh itu lantas
berbalik ke arahku, pandangan matanya
menunjukkan ketidakpercayaan atas kehadiranku
di tempat ini. Namun, kemudian terlihat
perlahan bibirnya mengembangkan senyum.
Senyum bahagia. “Abi…!” bisiknya pelan dan
girang. Sungguh, aku baru melihat isteriku
segirang ini. “Ah, kenapa tidak dari dulu
kulakukan menjemput isteri?” sesal hatiku.
Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk
isteriku. Ketika tahu hal itu, senyum bahagia
kembali mengembang dari bibirnya.
“Alhamdulillah, jazakallahu…,”ucapnya dengan
suara tulus. Ah, Maryam, lagi-lagi hatiku
terenyuh melihat polahmu. Lagi-lagi sesal
menyerbu hatiku. Kenapa baru sekarang aku bisa
bersyukur memperoleh isteri zuhud dan ‘iffah
sepertimu? Kenapa baru sekarang pula kutahu
betapa nikmatnya menyaksikan matamu yang
berbinar-binar karena perhatianku…? Semoga
berguna bagi kita semua….amin ya rabbal
alamien .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar